10.18.2004

Part IV: Kirana and Matt

~part three...

Ames, tengah semester Fall, 2003.

"Kirana?" Dari seberang lab komputer, Stella memanggilnya. Kirana yang tengah berkutat dengan desain flash untuk websitenya berpaling. Malam ini bakal jadi malam yang panjang. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas, tapi Kirana masih terjebak di lab komputer ini. Tampaknya malam ini juga bakal jadi malam yang panjang buat beberapa orang sebab Stella, Matt, dan beberapa temannya sekelas juga tampaknya belum mau beranjak dari depan komputer masing-masing. Besok siang, tugas desain flash ini harus dikumpulkan.

"Ada apa, Stella?"

"Sini deh, bantuin aku dulu ya. Kamu kan lebih jago soal dreamweaver daripada aku."

"Ah, nggak juga lah. Ada masalah apa?" tanya Kirana sambil menghampiri Stella. Dan sejenak keduanya tenggelam dalam diskusi panjang soal masalah kode html yang ruwet. Kirana mengeryitkan kening, hmm, parah nih kode html-nya Stella. Bener-bener campur aduk dan banyak yang harus ditulis ulang. Tapi proyek desainnya sendiri juga belum kelar. Mana perutnya sudah keroncongan begini. Tapi demi teman, ya sudahlah, akhirnya diusirnya Stella dari tempat duduknya hingga ia bisa leluasa mengutak-atik kode html-nya yang serba ruwet.

Setengah jam kemudian, Kirana sudah selesai mengurai carut-marutnya website Stella. Ditatapnya jam di tangannya. Hmm, sudah jam setengah dua belas malam dan perutnya semakin tidak mau diajak kompromi. Payah nih, mana ada tempat makan dekat-dekat kampus yang masih buka? Tidak ada pilihan lain lagi selain memesan makanan ke McD atau ke Papa John's Pizza dekat kampus. Dan sejenak jarinya lincah menekan tombol handphone lalu setelah terhubung ke Papa Johns's, ia memesan pizza. Sejenak matanya beredar ke seluruh penjuru lab komputer, ketika petugas Papa John's menanyakan berapa banyak pizza yang akan ia pesan. Hmm, masih ada dirinya, Stella, Matt, Anne, Shu Lie, dan David. Pasti mereka semua sama kelaparannya seperti dirinya. Otaknya secepat kilat melakukan kalkulasi berapa banyak yang ia harus pesan untuk semua teman, lalu memutuskan untuk memesan tiga loyang Pizza dan dua botol coke untuk diantar ke lab komputer.

Dua puluh menit kemudian, pintu lab komputer diketuk dari luar. Itu pasti petugas pengantar pizza. Setelah membukakan pintu dan membayar pesanan pizzanya, ia bergegas meletakkan pizza di meja tengah lab.

"Ayo semuanya, dinner time dan break time! Makan, makan!" serunya riang, mempersilahkan semua untuk makan.

"Kirana? Ini untuk semua orang?" tanya Anne.

"Iya, aku pesan untuk semua. Kenapa, kurang banyak?"

"Wah, baik banget kamu. Beneran nih, habisnya berapa? Biar kita tanggung sama-sama."timpal David dari sudut lab.

"Nggak usah, Dave, my treat. Pasti semua udah lapar, kan? Ayo, ayo, kita makan bareng." Tanpa disuruh dua kali lagi, semua menyerbu meja tengah. Anne dan Shu Lie masing-masing langsung mengganyang satu potong Pizza Pepperoni and Cheese. Sementara David dan Stella tengah menghabiskan Grilled Chicken Pizza. Sambil makan, masing-masing berdiskusi soal proyek yang tengah mereka kerjakan dan tentang pribadi masing-masing. Sejak dua bulan yang lalu masuk program ini, mereka memang jarang punya kesempatan untuk mengobrol leluasa begini. Makan malam ini adalah ajang yang bagus untuk saling mengenal satu sama lain.

Kecuali satu orang, Matt. Lelaki itu masih memelototi layar monitornya di sudut.

"Matt? Kamu nggak makan?" tanya Kirana mendekati meja kerja Matt.

"Huh? Makan? Nggak kepikir tuh."Sahut lelaki itu sambil tetap memelototi monitor komputernya. Tampaknya dia sedang mencoba desain flashnya yang baru. Lelaki satu ini, sejak ia masuk ke program ini dua bulan yang lalu memang dingin. Tapi justru malah menantang untuk ditaklukkan!

"Hati-hati lho, kalau nggak makan, kamu bisa sakit. Apalagi kalau kamu harus kerja sampai besok pagi. Bisa drop kondisi tubuh." Hmm, nada Kirana sok-sok perhatian. Kenapa sih dia jadi ganjen begini. Perduli amatlah lelaki itu mau makan atau tidak.

"Lagian ada pizza lho dari Papa John's. BBQ Chicken and Bacon lho. Itu kesukaanmu, kan?"

Baru setelah mendengar jenis pizza kesukaannya, barulah lelaki itu memalingkan mukanya dari layar komputer.

"Dari mana kamu tahu pizza kesukaanku?"

"Ah, nggak penting itu. Ayo, makan dulu!"

Tiga puluh menit kemudian, satu per satu kembali ke meja kerja masing-masing. Kirana membereskan box-box pizza yang telah ludes diganyang. Baru ketika ia akan keluar dari lab membawa box-box pizza untuk dibuang di tempat sampah di ujung lorong, tiba-tiba Matt meraih box-box itu dari tangannya. Tanpa banyak bicara, lelaki itu melangkah keluar lab, diikuti Kirana yang tanpa protes ikut melangkah keluar sambil membawa botol-botol coke kosong untuk dibuang.

"Kamu ternyata perhatian juga ya, Kirana?" ujar Matt tiba-tiba ketika mereka sedang berjalan kembali ke lab.

"Kenapa gitu?"

"Memperhatikan kalau kita semua kelaparan dan membelikan kita pizza."

"Ah, biasa aja. Kebetulan aku lagi lapar dan aku rasa semua teman juga sedang lapar karena kita kerja dari jam tujuh tadi. Jadi aku beli aja sekalian buat semuanya."

"Bukan cuma itu perhatian kamu."Matt memperhatikan dirinya dari samping, sambil berjalan. Kirana menyadari itu tapi pura-pura tak acuh.

"Oh ya? Memangnya ada lagi?"

"Kamu tahu aku suka Papa John's Pizza. BBQ Chicken and Bacon."

"Yang itu aku nggak sengaja tahu. Ingat nggak, kamu ngasih tahu Shu Lie dimana tempat pizza paling enak di Ames, waktu dia harus mengurusi makanan untuk acara piknik tahunan program kita dua minggu yang lalu? Aku nggak sengaja dengar itu."

"Bukan cuma itu perhatian kamu." Matt menghentikan langkahnya, dan kali ini benar-benar memperhatikan wajahnya. Mau tak mau Kirana jadi ikut menghentikan langkahnya. Tapi kali ia tak bisa acuh lagi. Tidak ketika hatinya jadi berdebar-debar tidak jelas begini.

"Oh ya, apa lagi?"

"Kamu udah nyuruh aku makan supaya nggak sakit. Nggak banyak lho cewek yang perhatian sama aku begitu. Makasih ya" Really? So, I was the first? Hmm, kirana jadi semakin grogi.

"Sama-sama." Kirana tak mampu menanggapi kecuali mengucapkan jawaban standar itu.

"Anyway, makasih sekali lagi. Buat pizzanya, buat perhatiannya." Ucap Matt dengan tatapan mata penuh terima kasih. Lalu ia kembali meneruskan langkahnya ke lab.

Sejak malam itu, rasanya lelaki itu tak lagi dingin...

~bersambung...