10.18.2004

Part IV: Kirana and Matt

~part three...

Ames, tengah semester Fall, 2003.

"Kirana?" Dari seberang lab komputer, Stella memanggilnya. Kirana yang tengah berkutat dengan desain flash untuk websitenya berpaling. Malam ini bakal jadi malam yang panjang. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas, tapi Kirana masih terjebak di lab komputer ini. Tampaknya malam ini juga bakal jadi malam yang panjang buat beberapa orang sebab Stella, Matt, dan beberapa temannya sekelas juga tampaknya belum mau beranjak dari depan komputer masing-masing. Besok siang, tugas desain flash ini harus dikumpulkan.

"Ada apa, Stella?"

"Sini deh, bantuin aku dulu ya. Kamu kan lebih jago soal dreamweaver daripada aku."

"Ah, nggak juga lah. Ada masalah apa?" tanya Kirana sambil menghampiri Stella. Dan sejenak keduanya tenggelam dalam diskusi panjang soal masalah kode html yang ruwet. Kirana mengeryitkan kening, hmm, parah nih kode html-nya Stella. Bener-bener campur aduk dan banyak yang harus ditulis ulang. Tapi proyek desainnya sendiri juga belum kelar. Mana perutnya sudah keroncongan begini. Tapi demi teman, ya sudahlah, akhirnya diusirnya Stella dari tempat duduknya hingga ia bisa leluasa mengutak-atik kode html-nya yang serba ruwet.

Setengah jam kemudian, Kirana sudah selesai mengurai carut-marutnya website Stella. Ditatapnya jam di tangannya. Hmm, sudah jam setengah dua belas malam dan perutnya semakin tidak mau diajak kompromi. Payah nih, mana ada tempat makan dekat-dekat kampus yang masih buka? Tidak ada pilihan lain lagi selain memesan makanan ke McD atau ke Papa John's Pizza dekat kampus. Dan sejenak jarinya lincah menekan tombol handphone lalu setelah terhubung ke Papa Johns's, ia memesan pizza. Sejenak matanya beredar ke seluruh penjuru lab komputer, ketika petugas Papa John's menanyakan berapa banyak pizza yang akan ia pesan. Hmm, masih ada dirinya, Stella, Matt, Anne, Shu Lie, dan David. Pasti mereka semua sama kelaparannya seperti dirinya. Otaknya secepat kilat melakukan kalkulasi berapa banyak yang ia harus pesan untuk semua teman, lalu memutuskan untuk memesan tiga loyang Pizza dan dua botol coke untuk diantar ke lab komputer.

Dua puluh menit kemudian, pintu lab komputer diketuk dari luar. Itu pasti petugas pengantar pizza. Setelah membukakan pintu dan membayar pesanan pizzanya, ia bergegas meletakkan pizza di meja tengah lab.

"Ayo semuanya, dinner time dan break time! Makan, makan!" serunya riang, mempersilahkan semua untuk makan.

"Kirana? Ini untuk semua orang?" tanya Anne.

"Iya, aku pesan untuk semua. Kenapa, kurang banyak?"

"Wah, baik banget kamu. Beneran nih, habisnya berapa? Biar kita tanggung sama-sama."timpal David dari sudut lab.

"Nggak usah, Dave, my treat. Pasti semua udah lapar, kan? Ayo, ayo, kita makan bareng." Tanpa disuruh dua kali lagi, semua menyerbu meja tengah. Anne dan Shu Lie masing-masing langsung mengganyang satu potong Pizza Pepperoni and Cheese. Sementara David dan Stella tengah menghabiskan Grilled Chicken Pizza. Sambil makan, masing-masing berdiskusi soal proyek yang tengah mereka kerjakan dan tentang pribadi masing-masing. Sejak dua bulan yang lalu masuk program ini, mereka memang jarang punya kesempatan untuk mengobrol leluasa begini. Makan malam ini adalah ajang yang bagus untuk saling mengenal satu sama lain.

Kecuali satu orang, Matt. Lelaki itu masih memelototi layar monitornya di sudut.

"Matt? Kamu nggak makan?" tanya Kirana mendekati meja kerja Matt.

"Huh? Makan? Nggak kepikir tuh."Sahut lelaki itu sambil tetap memelototi monitor komputernya. Tampaknya dia sedang mencoba desain flashnya yang baru. Lelaki satu ini, sejak ia masuk ke program ini dua bulan yang lalu memang dingin. Tapi justru malah menantang untuk ditaklukkan!

"Hati-hati lho, kalau nggak makan, kamu bisa sakit. Apalagi kalau kamu harus kerja sampai besok pagi. Bisa drop kondisi tubuh." Hmm, nada Kirana sok-sok perhatian. Kenapa sih dia jadi ganjen begini. Perduli amatlah lelaki itu mau makan atau tidak.

"Lagian ada pizza lho dari Papa John's. BBQ Chicken and Bacon lho. Itu kesukaanmu, kan?"

Baru setelah mendengar jenis pizza kesukaannya, barulah lelaki itu memalingkan mukanya dari layar komputer.

"Dari mana kamu tahu pizza kesukaanku?"

"Ah, nggak penting itu. Ayo, makan dulu!"

Tiga puluh menit kemudian, satu per satu kembali ke meja kerja masing-masing. Kirana membereskan box-box pizza yang telah ludes diganyang. Baru ketika ia akan keluar dari lab membawa box-box pizza untuk dibuang di tempat sampah di ujung lorong, tiba-tiba Matt meraih box-box itu dari tangannya. Tanpa banyak bicara, lelaki itu melangkah keluar lab, diikuti Kirana yang tanpa protes ikut melangkah keluar sambil membawa botol-botol coke kosong untuk dibuang.

"Kamu ternyata perhatian juga ya, Kirana?" ujar Matt tiba-tiba ketika mereka sedang berjalan kembali ke lab.

"Kenapa gitu?"

"Memperhatikan kalau kita semua kelaparan dan membelikan kita pizza."

"Ah, biasa aja. Kebetulan aku lagi lapar dan aku rasa semua teman juga sedang lapar karena kita kerja dari jam tujuh tadi. Jadi aku beli aja sekalian buat semuanya."

"Bukan cuma itu perhatian kamu."Matt memperhatikan dirinya dari samping, sambil berjalan. Kirana menyadari itu tapi pura-pura tak acuh.

"Oh ya? Memangnya ada lagi?"

"Kamu tahu aku suka Papa John's Pizza. BBQ Chicken and Bacon."

"Yang itu aku nggak sengaja tahu. Ingat nggak, kamu ngasih tahu Shu Lie dimana tempat pizza paling enak di Ames, waktu dia harus mengurusi makanan untuk acara piknik tahunan program kita dua minggu yang lalu? Aku nggak sengaja dengar itu."

"Bukan cuma itu perhatian kamu." Matt menghentikan langkahnya, dan kali ini benar-benar memperhatikan wajahnya. Mau tak mau Kirana jadi ikut menghentikan langkahnya. Tapi kali ia tak bisa acuh lagi. Tidak ketika hatinya jadi berdebar-debar tidak jelas begini.

"Oh ya, apa lagi?"

"Kamu udah nyuruh aku makan supaya nggak sakit. Nggak banyak lho cewek yang perhatian sama aku begitu. Makasih ya" Really? So, I was the first? Hmm, kirana jadi semakin grogi.

"Sama-sama." Kirana tak mampu menanggapi kecuali mengucapkan jawaban standar itu.

"Anyway, makasih sekali lagi. Buat pizzanya, buat perhatiannya." Ucap Matt dengan tatapan mata penuh terima kasih. Lalu ia kembali meneruskan langkahnya ke lab.

Sejak malam itu, rasanya lelaki itu tak lagi dingin...

~bersambung...

5.30.2004

Part III: Kirana & Matt

~part two...

Ames, akhir Fall 2004


“Kirana, aku punya ide gila. Ayo kita Campanile tower tengah malam ini.” Ajak Matt suatu sore ketika mereka usai kelas.

“Campanile tower? Tengah malam? Kamu udah gila ya? Dingin-dingin begini kita ngapain di Campanile?” sergah Kirana.

“Nanti malam di Campanile ada acara Mass Campaniling. Mau kan?”

“Apaan sih Mass Campaniling?”

“Ada deh. Datang ya. Aku jemput jam setengah dua belas?”

Tanpa pikir panjang Kirana mengiyakan. Dan tepat jam setengah dua belas Matt menjemput. Dan mereka pergi ke Campanile Tower, tugu jam lambang Iowa State Uni di tengah-tengah kampus.

Di sana ia bertemu Stella dan Carlos, pacarnya. Juga Anne dan Patrick. Ashley dan Josh. Dan puluhan pasangan lain. Acara apa ini?

“Matt, ini acara apa? Kenapa yang datang pasangan semua? Memangnya Mass Campaniling itu apa?” Tanyanya pada Matt yang malam itu tampak tampan dalam balutan sweater birunya. Udara musim gugur di malam itu agak dingin dan ia sedikit menggigil. Aku pasti sudah gila, pikir Kirana, tengah malam begini, dingin pula, aku seharusnya sudah hangat meringkuk di bawah selimut.

“Sudahlah, kamu lihat saja dan nanti ikuti saja acaranya.”

“Tapi...”

“Eh, sudah ya, acaranya udah hampir mulai. Pokoknya kamu ikuti saja aku nanti. Jangan jauh-jauh.” Potong Matt.

Tiba-tiba bel Campanile mengumandangkan nada “Just the Way You are”, menandakan tengah malam telah tiba. Kirana celingukan bingung, melihat semua pasangan serempak berciuman. Dan Matt merengkuhnya dalam pelukan, membawanya dalam kecupan, dan ia tak mampu berkata-kata, tak kuasa menolak...

Ketika bel berhenti berdentang keduabelas kalinya, Matt melepaskan pelukannya. Kirana masih setengah tersadar. Inikah Mass Campaniling? Ia merasakan bahagia luar biasa. Matt, menciumnya? Di depan umum begini? Apakah lelaki itu punya perasaan lebih buatnya? Apakah mimpi-mimpinya tentang lelaki ini jadi nyata?

Entah dari mana datangnya, rasa bersalah menyusupi hatinya. Dito. Astaga, apa yang telah kuperbuat, pikirnya. Dito tunangannya, tak semestinya ia membiarkan Matt memeluknya, mengecupnya. Namun ia tak kuasa menolak, karena dalam hati kecilnya ia tahu, Matt telah merenggut segala kesadarannya, meracuni dirinya dengan perasaan cinta...

Ames, awal Summer 2007

“Kirana? Are you still there? Melamunkan Matt ya?” Suara Stella di seberang sana menggodanya.

“Enggak, enggak kok.” Bantahnya.

“Sudahlah, apa lagi yang kamu tunggu. Kamu kan single, fun fearless female. Mungkin ini sudah jalannya, kamu harus ketemu Matt lagi.”

“Tapi, Stella, kamu kan tahu apa yang terjadi pas wisuda dulu.”

“Ah, cerita basi! Aku tahu waktu itu kamu nggak mungkin menerima dia karena ada Dito. Tapi sekarang ceritanya kan sudah lain. Kamu sudah bukan tunangan Dito lagi. Lagi pula, usia kamu sekarang sudah berapa, sudah saatnya kan?”

“Aku belum mikir married. Masih mau selesaikan PhD, masih mau penelitian ini itu.”

“Alah, mau tunggu apa lagi. Jangan kalah dong sama aku dan Carlos yang sudah berbuntut dua begini. C’mon, Girl, sudah saatnya ini. Kapan dong aku bisa jadi bridemaid di pesta pernikahanmu?”

“Ya tapi aku kan nggak tahu gimana status Matt sekarang. Siapa tahu dia juga sudah punya istri..”

“Nah, kalau itu aku tahu. Dia juga masih single.” Potong Stella.

“Oh well, tapi dia pasti masih sakit hati...”

“Alah, sakit hati apa? Kalau sakit hati dia pasti juga nggak semangat begini ikut konferensi.”

“Siapa tahu dia ikut konferensi karena topiknya nyambung sama minat dia. Itu sama sekali nggak ada hubungannya sama kehadiranku di sini.”

“Well, siapa tahu? Kita lihat saja besok. By the way, aku sudah book tempat di Hickory Park malam besok untuk pesta reuni kecil-kecilan. Kamu harus datang soalnya teman-teman sekelas kita dulu juga bakal di sana. Jangan sampai nggak datang. And no excuse! Kita ketemu besok ya, Kirana, jam delapan pagi di ruang konferensi.” Kata Stella mengakhiri pembicaraan telpon mereka.

Kirana masih tak percaya...

~bersambung...

Part II: Kirana & Matt

~part one...

Ames, awal Summer 2005

Hari ini hari wisudaku, pikir Kirana sambil membetulkan toganya. Akhirnya setelah dua tahun bergelut dengan segala paper, tugas, proyek, dan thesis, selesai juga studi S2nya. Stella duduk di sampingnya di Hilton Colliseum, tempat upacara wisuda dilaksanakan, sibuk berceloteh riang tentang rencananya sesudah usai studi S2.

“Kirana, what’s your plan after graduating?”

“Well, kau juga sudah tahu kan. Manchester, here I come!”

“Yup. Memang sudah tepat kalau kamu langsung studi PhD. Bagaimana dengan Matt? Apa rencananya setelah lulus?”

“Hmm? Matt? Kenapa Tanya ke aku? Tanya langsung ke dia dong.”

“Lho kamu kan yang paling dekat sama dia. Nggak salah dong kalau aku Tanya kamu.”

“Yeah, right. Memang aku apanya dia?”

“Ehm, calon pacar?”

“Kamu lupa soal Dito? Mau dikemanain tunangan tersayangku itu.”

“Eh, Kirana, kalau mau jujur, memang kamu masih sayang sama Dito? Sori kalau pertanyaanku menyinggungmu.” Tiba-tiba Kirana tertegun. Dito? Sudah seberapa lama ia tak lagi menelpon ke Jakarta, bercakap dengan tunangannya itu? Dan bagaimana dengan rencana lelaki itu untuk menikahinya setelah selesai studi. Segala persiapan yang telah mereka lakukan, restu keluarga yang mendukung rencana mereka. Tapi sibuk pikirnya itu tertelan riuh tepuk tangan para hadirin ketika MC mulai memanggil satu persatu nama para winisuda agar maju ke depan untuk menerima ucapan selamat dari rektor.

Usai upacara wisuda, Kirana sibuk menerima ucapan selamat dari teman-temannya. Agak sedih dalam hatinya mengingat kedua orang tuanya tak bisa menghadiri wisudanya ini. Tak ada cukup biaya bagi beliau berdua untuk hadir. Maklum, ia cuma mahasiswa beasiswa, tak seperti teman-temannya yang mampu kuliah dengan biaya orang tua. Tapi melihat kehadiran teman-temannya dan keluarga Sanders, keluarga angkatnya di Ames, cukup mengusir kesedihannya.

“Kirana, congratulation, Cheri!” didengarnya suara khas Matt di sampingnya. Dalam balutan toga, lelaki itu tampak gagah dan matang. Di tangannya tergenggam setangkai mawar dan sepucuk kartu.

“Ini buatmu.” Matt mengangsurkan mawar dan kartu ditangannya.

“Makasih, Matt. Sori aku nggak punya apa-apa untukmu. Selamat juga ya, kamu lulus.”

“That’s OK. Ehm, langsung dibaca ya kartunya. I have a surprise for you.” Ada kerling nakal di matanya.

“Apa nih? Mau traktir makan di Perkins?” tanyanya menimpali.

“Udah lah, baca saja nanti ya? Habis itu kamu telpon aku. OK deh, aku ke keluargaku dulu ya. Jangan lupa lho, telpon aku.”

“OK.” Matt bergegas meninggalkannya menuju ke keluarganya. Diikutinya lelaki itu dengan mata murung. Hmm, kenapa tiba-tiba hatinya jadi teriris mengingat sebentar lagi ia tak lagi bisa menemui lelaki itu di kesehariannya.

Dibukanya kartu di tangannya. Cuma ada sebaris kalimat di dalamnya...

Kirana. Will you be with me forever?

What? Apa ini? Some kind of a joke? Di balik hatinya yang terasa mengembang bahagia, ia tiba-tiba terlanda panik. Ingatannya langsung tertuju ke Dito, janji-janji mereka sebelum ia pergi ke Amerika. Dengan panik, ia mencari-cari sosok Matt di riuhnya kerumunan para winisuda dan keluarga, meminta kejelasan, mencari keterangan. Tapi tak ditemuinya sosok tinggi lelaki itu. Apa ini? Apa maksud Matt? Apa ia bermimpi? Tapi apa mimpi ini adalah suatu kebenaran?

Bergegas dicari-carinya telepon genggam di tas tangannya. Dan dengan jemari gemetar ditekannya nomor telepon Matt tanpa banyak berpikir. Nomor lelaki itu sudah dihapalnya mati.

“Kirana?” jawab Matt segera setelah dering nada panggil pertama.

“Matt? What is this? Is this a joke?” Tanyanya panik, sedikit marah, sedikit bingung, sedikit bahagia. Campur aduk.

“Where are you now?”

“Masih di Hilton. Kamu di mana?”

“I’ll be there in a second. Kamu masih di tempatmu yang tadi?”

“Yup.”

“Hang on there.”

Dengan pikiran penuh, Kirana kembali duduk di kursinya. Tak terlalu diperdulikannya lagi teman-temannya mengucapkan selamat. Keluarga Sanders sudah dari tadi pergi, menyiapkan pesta wisuda malam nanti untuknya dan untuk Dillan, putra mereka yang kebetulan juga lulus hari ini. Pikirannya kacau balau. Teringat Dito, terpikir Matt, bingung.

“Kirana.” Tiba-tiba saja lelaki itu sudah berdiri di depannya. Dan dia langsung berlutut di hadapannya. Perlahan diraihnya tangan Kirana. Mata Kirana membelalak tak percaya...

“Kirana, will you marry me?”

Serasa disambar petir rasanya. Dunianya menjadi gelap. Ini mimpi, ini tak mungkin, impossible...

Kirana tergugu, tak mampu menjawab. Di sekitarnya semua orang menatap adegan romantis mereka dengan senyuman mengembang. Teman-temannya berbisik-bisik seru. Dan di tepi matanya ia melihat orang tua Matt dan kedua adiknya, mengulum senyum, menanti dengan tak sabar jawabannya. Di hadapannya Matt menunggu, di matanya terbaca pernantian, sedang dirinya tak mampu berkata-kata. Dunia berhenti berputar...

“Kirana?”

“Uh, eh, Matt, maaf. Aku tak bisa.”

Seketika semua orang terdiam. Mungkin tak percaya. Pinangan teromantis semacam ini ditolak. Ia membaca kekecewaan mendalam di mata Matt. Ada juga tatapan tak percaya. Tatapan marah. Tatapan malu. Dan Kirana semakin merasa panik, kecewa dan juga tak percaya akan jawabannya sendiri.

“Baiklah.” Ujar Matt lugas, berdiri dari hadapannya, lalu berlalu.

Berlalu dari hidupnya, itu yang terjadi. Sejak hari wisuda dan pinangan petaka itu, Matt tak pernah lagi singgah. Tak ada email. Tak ada telepon. Matt seperti menghilang. Lenyap. Tak berbekas.

Dan Dito? Dito juga menghilang ketika mengetahui ia diterima studi PhD di Inggris dan begitu saja membatalkan rencana mereka menikah. Menurut lelaki itu ia terlalu egois dengan ambisinya studi dan lelaki itu jadi merasa tersaingi. Egoisme lelaki, tak mau calon istrinya lebih maju. Namun anehnya, ia malah merasa lega, merasa bebas.

Beberapa kali dibacanya nama Matt di beberapa jurnal ilmiah. Dan dari jurnal ilmiah itu ia tahu Matt ada di Belanda, bekerja sebagai dosen dan lalu menjadi peneliti di Cornell University. Beberapa kali Stella mengirim email, menceritakan Matt. Dan ingatannya selalu lari ke hari itu, di Campanile...

~bersambung

Part I: Kirana & Matt

~disclaimer...

Ames, Summer 2007

Kembali lagi ke Ames. Sudah berapa tahun dilewatinya pergi dari Ames? Ames kota kecil yang selalu nyaman, selalu ramah, sama seperti Bogor, kota kecilnya yang juga selalu nyaman dan ramah.

Sepanjang Lincoln Way, Kirana mengamati segala bangunan yang dilewatinya. Ah, itu Hyvee, supermarket tempat ia biasa belanja sayur-mayur dan segala pernik unik kecil yang lengkap tersedia. Dan di belakang Hyvee itu adalah apartment-nya dulu, tempat ia dua tahun tinggal. Nah, sekarang melewati Hilton Colliseum. Jadi teringat wisudanya empat tahun yang lalu, khidmat sepanjang ceremony, dan meriah sesudahnya oleh celoteh teman-temannya memberi selamat atas kelulusannya dari Iowa State University. Dan deretan Greek Houses, dulu ia sering sekali berjalan kaki di sepanjang trotoarnya, mengagumi arsitektur bangunan-bangunannya yang sungguh sedap dilahap mata. Oh, Memorial Union! Tempat ia sering nongkrong menghabiskan siang, tidur di salah satu sofa di Sun Room, makan siang di restoran Panda Express dan dancing di pesta dansa di Great Hall. Tentu saja, ia kini melihat Lake Laverne, danau kecil dengan dua angsa maskotnya, Sir Lancelot dan Elaine.

Lake Laverne? Ingatannya langsung melayang ke sesosok lelaki yang dulu sering menghabiskan waktu dengannya mengobrol di teduhnya pohon-pohon di tepi danau kecil itu. Hmm, dimana dia sekarang, pikir Kirana bertanya-tanya…

Ames, awal Summer 2004

“You know what, Kirana, ada tradisi di Lake Laverne ini.” Cerita lelaki itu di suatu sore di musim panas. Mereka baru saja pulang dari Lab Komputer, menyelesaikan sebuah proyek dan tengah berjalan ke arah restoran Little Taipei di Welch Avenue untuk santap malam. Langkah mereka tengah melewati Lake Laverne dan udara sore itu yang teduh meliputi kota Ames.

“Really, Matt? What tradition?”

“Katanya, kalau sepasang kekasih berjalan memutari Lake Laverne tiga kali tanpa saling omong sama sekali, mereka akan selama-lamanya bersama.”

“Masak sih? Cuman dengan berjalan memutari Lake Laverne?”

“Iya. Aku baca di salah satu bulletin kampus.”

“Hmm, lucu juga ya. Menarik juga ide itu. Have you tried it?”

“Me? Belum lah. Aku kan masih bujangan begini, jadi belum ada yang kuajak berjalan memutari Lake Laverne. Lagian memangnya ada cewek yang mau sama aku?” Kata Matt sambil tersenyum ke arahnya.

Sejenak Kirana tertegun memandang Matt yang kali ini sudah sibuk melanjutkan langkahnya. Diamatinya sosok Matt yang jangkung di sebelahnya. Kamu tampan kalau tersenyum seperti tadi, Matt, katanya dalam hati. Ah, lagi-lagi ia bermimpi. Ini tak mungkin.

“Kirana, you know what? Kalau misalnya aku punya pacar, akan aku ajak dia berjalan
keliling Lake Laverne, supaya kami bisa selama-lamanya bersama.”

“Dan siapa cewek yang beruntung itu, Matt?”

“Kan sudah kubilang, belum ada. Nanti kalau ada, kamu yang pertama kali aku beritahu.”

Ah, seujung jarum tiba-tiba terasa menusuk di dadanya. Beruntung sekali perempuan yang memenangkan hati lelaki ini. Matt yang baik, Matt yang ringan tangan menolongnya mengantar kemana-mana, Matt yang pintar, Matt yang tampan dengan senyum menawan.

Ames, Summer 2007

Ah, masa lalu, pikir Kirana ketika mobil yang ditumpanginya telah membelok ke arah Memorial Union. Malam ini ia akan menginap di salah satu kamar hotel di Memorial Union, dan besok pagi ia akan menghadiri konferensi tentang pengajaran bahasa Inggris. Ia merasa beruntung sekali dibiayai oleh program PhD yang sedang diambilnya di Machester, Inggris untuk menghadiri dan memberikan presentasi di konferensi internasional ini. Dan ia semakin merasa beruntung karena tahun ini konferensi tersebut diadakan di Ames, di kota tempat ia belajar untuk meraih gelar Master. Hitung-hitung ini perjalanan nostalgia. Dua minggu lalu Stella, temannya semasa kuliah Master dulu, mengirim email, mengabarkan bahwa ia akan menghadiri konferensi ini. Dan tentu saja, beberapa professor yang dulu menjadi dosennya akan hadir. Ada banyak kesempatan untuk bertukar cerita dan ilmu.

Setelah check-in dan masuk ke kamarnya di lantai tiga, Kirana meraih gagang telpon. Di meja resepsionis tadi ia mendapatkan pesan dari Stella, mengabarkan bahwa temannya itu telah lebih dulu tiba dan memintanya menelpon jika ia sampai.

“Hello, may I speak to Stella Cleros, please?”

“Hi, Kirana! How are you? Long time no see!” Suara renyah Stella menyapanya.

“I’m good. Apa kabar?”

“Great! Guess what, tahu tidak aku tadi ketemu siapa di lobby?” Suara Stella kedengaran sangat bersemangat, seperti dulu setiap kali temannya itu punya berita sensasional untuk dibagi.

“Dr. Howard?” tebaknya, menyebut nama salah satu professor favorit mereka berdua dulu.

“Ah, ngapain Dr. Howard sore-sore begini gentayangan di sini? Kalau besok sewaktu konferensi kita ketemu dia itu sudah wajar. Bukan! Ayo tebak!”

“Aku malas tebak-tebak. Lagian kenapa sih kamu semangat sekali. Memang kamu ketemu siapa? Selebritis?” timpal Kirana dengan nada menggoda. Di seberang sana Stella terbahak.

“Bukan dong! I met…… Matthew Andrews!” seru Stella dengan nada seperti mengumumkan pemenang piala Oscar.

Kirana seperti bermimpi mendengar nama itu. Matt? Matthew Andrews? Ini namanya déjà vu. Baru tadi ia memikirkan lelaki itu dan tiba-tiba saja ia mendapati bahwa Matt ada di sini, di Ames.

“Kirana? Are you still there?” suara Stella di seberang sana mengagetkannya.

“Ehm, yes, I’m still here.”

“What now? Kamu nggak senang bisa ketemu dia lagi?”

“Ehm, senang sih. Tapi aku nggak nyangka bisa ketemu dia lagi.” Apalagi sejak setelah wisuda itu, ujar Kirana dalam hati.

“Kamu apa nggak pernah kontak dia lagi setelah lulus?”

“Nope. No email, no letter. Cuma denger-denger dia pergi ke Belanda, baca beberapa tulisannya di jurnal ilmiah, lalu dia kerja di Cornell. That’s it.”

“Hmm, wajar sih, setelah kejadian itu. Tapi harusnya dia sudah nggak sakit hati lagi dong. Aku masih sering kirim-kirim email ke dia. Aku kira kamu tahu dia bakal datang di konferensi ini.”

“Nggak, aku nggak tahu sama sekali.”

“Aneh juga dia. Waktu aku bilang soal konferensi ini, dia kedengarannya nggak minat. Baru sebulan yang lalu dia tiba-tiba semangat mau datang, setelah aku bilang ke dia, kamu mau presentasi sesuatu.”

“Oh ya?”

“Iya. Dia bilang, kalau Kirana presentasi, aku mau juga datang. Katanya, dia akan mengirim email ke kamu, ngasih kabar kalau dia datang. Aku yang kasih tahu alamat emailmu.”

Hmm, jadi lelaki itu masih ingat dirinya.

“Kirana? Kamu masih di situ?”

“Masih.”

“Kamu ini ya, tiap kali bicara soal Matt selalu jadi bego tiba-tiba. Percuma dong lulus summa cum laude dari Iowa State Uni!” Hmm, jadi bego? Memang sedari dulu ia bisa tergugu kalau berada di sekitar lelaki itu.

“Dia nggak kirim email ke kamu?” Tanya Stella mengagetkannya dari pikirannya.

“Nggak tuh. Dia sama sekali nggak pernah kirim kabar.”

“Hmm, aneh juga ya. Kalian kan dulu pernah punya ‘story’.” Not really aneh juga, kalau mengingat apa yang terjadi sesudah pesta wisuda itu, pikir Kirana.

~bersambung ...

Thanks to!

Thanks to....

Tyas yg udah kasih kritik dan usul yang bagus banget, bikin ceritanya jadi tambah rumit :P

Nana yg udah kasih kritik katanya bahasanya kurang ngalir...thank's banget! Ntar gw edit lagi dehhhh...

About the story...

Ini ceritanya lagi iseng, gak ada kerjaan, dan pingin bikin sesuatu...

Jadinya bikin cerpen. Atau cerbung? Nggak tau deh. Lihat aja nanti. Kalau misalnya bisa pendek ya gw bikin pendek aja ceritanya. Tapi kalau berkembang jadi panjang, ya sudahlah. Namanya juga iseng!

Disclaimer: Ini cerita fiksi! Jadi kesamaan nama, tempat, alur cerita dan sebagainya semata-mata kebetulan. Jangan dipikir panjang, ok?

Silakan komentar, caci maki, usul. Semua diterima dengan lapang dada...

Selamat membaca "Kirana & Matt" (judulnya masih sementara, kalau ada usul, silakan deh...)