5.30.2004

Part II: Kirana & Matt

~part one...

Ames, awal Summer 2005

Hari ini hari wisudaku, pikir Kirana sambil membetulkan toganya. Akhirnya setelah dua tahun bergelut dengan segala paper, tugas, proyek, dan thesis, selesai juga studi S2nya. Stella duduk di sampingnya di Hilton Colliseum, tempat upacara wisuda dilaksanakan, sibuk berceloteh riang tentang rencananya sesudah usai studi S2.

“Kirana, what’s your plan after graduating?”

“Well, kau juga sudah tahu kan. Manchester, here I come!”

“Yup. Memang sudah tepat kalau kamu langsung studi PhD. Bagaimana dengan Matt? Apa rencananya setelah lulus?”

“Hmm? Matt? Kenapa Tanya ke aku? Tanya langsung ke dia dong.”

“Lho kamu kan yang paling dekat sama dia. Nggak salah dong kalau aku Tanya kamu.”

“Yeah, right. Memang aku apanya dia?”

“Ehm, calon pacar?”

“Kamu lupa soal Dito? Mau dikemanain tunangan tersayangku itu.”

“Eh, Kirana, kalau mau jujur, memang kamu masih sayang sama Dito? Sori kalau pertanyaanku menyinggungmu.” Tiba-tiba Kirana tertegun. Dito? Sudah seberapa lama ia tak lagi menelpon ke Jakarta, bercakap dengan tunangannya itu? Dan bagaimana dengan rencana lelaki itu untuk menikahinya setelah selesai studi. Segala persiapan yang telah mereka lakukan, restu keluarga yang mendukung rencana mereka. Tapi sibuk pikirnya itu tertelan riuh tepuk tangan para hadirin ketika MC mulai memanggil satu persatu nama para winisuda agar maju ke depan untuk menerima ucapan selamat dari rektor.

Usai upacara wisuda, Kirana sibuk menerima ucapan selamat dari teman-temannya. Agak sedih dalam hatinya mengingat kedua orang tuanya tak bisa menghadiri wisudanya ini. Tak ada cukup biaya bagi beliau berdua untuk hadir. Maklum, ia cuma mahasiswa beasiswa, tak seperti teman-temannya yang mampu kuliah dengan biaya orang tua. Tapi melihat kehadiran teman-temannya dan keluarga Sanders, keluarga angkatnya di Ames, cukup mengusir kesedihannya.

“Kirana, congratulation, Cheri!” didengarnya suara khas Matt di sampingnya. Dalam balutan toga, lelaki itu tampak gagah dan matang. Di tangannya tergenggam setangkai mawar dan sepucuk kartu.

“Ini buatmu.” Matt mengangsurkan mawar dan kartu ditangannya.

“Makasih, Matt. Sori aku nggak punya apa-apa untukmu. Selamat juga ya, kamu lulus.”

“That’s OK. Ehm, langsung dibaca ya kartunya. I have a surprise for you.” Ada kerling nakal di matanya.

“Apa nih? Mau traktir makan di Perkins?” tanyanya menimpali.

“Udah lah, baca saja nanti ya? Habis itu kamu telpon aku. OK deh, aku ke keluargaku dulu ya. Jangan lupa lho, telpon aku.”

“OK.” Matt bergegas meninggalkannya menuju ke keluarganya. Diikutinya lelaki itu dengan mata murung. Hmm, kenapa tiba-tiba hatinya jadi teriris mengingat sebentar lagi ia tak lagi bisa menemui lelaki itu di kesehariannya.

Dibukanya kartu di tangannya. Cuma ada sebaris kalimat di dalamnya...

Kirana. Will you be with me forever?

What? Apa ini? Some kind of a joke? Di balik hatinya yang terasa mengembang bahagia, ia tiba-tiba terlanda panik. Ingatannya langsung tertuju ke Dito, janji-janji mereka sebelum ia pergi ke Amerika. Dengan panik, ia mencari-cari sosok Matt di riuhnya kerumunan para winisuda dan keluarga, meminta kejelasan, mencari keterangan. Tapi tak ditemuinya sosok tinggi lelaki itu. Apa ini? Apa maksud Matt? Apa ia bermimpi? Tapi apa mimpi ini adalah suatu kebenaran?

Bergegas dicari-carinya telepon genggam di tas tangannya. Dan dengan jemari gemetar ditekannya nomor telepon Matt tanpa banyak berpikir. Nomor lelaki itu sudah dihapalnya mati.

“Kirana?” jawab Matt segera setelah dering nada panggil pertama.

“Matt? What is this? Is this a joke?” Tanyanya panik, sedikit marah, sedikit bingung, sedikit bahagia. Campur aduk.

“Where are you now?”

“Masih di Hilton. Kamu di mana?”

“I’ll be there in a second. Kamu masih di tempatmu yang tadi?”

“Yup.”

“Hang on there.”

Dengan pikiran penuh, Kirana kembali duduk di kursinya. Tak terlalu diperdulikannya lagi teman-temannya mengucapkan selamat. Keluarga Sanders sudah dari tadi pergi, menyiapkan pesta wisuda malam nanti untuknya dan untuk Dillan, putra mereka yang kebetulan juga lulus hari ini. Pikirannya kacau balau. Teringat Dito, terpikir Matt, bingung.

“Kirana.” Tiba-tiba saja lelaki itu sudah berdiri di depannya. Dan dia langsung berlutut di hadapannya. Perlahan diraihnya tangan Kirana. Mata Kirana membelalak tak percaya...

“Kirana, will you marry me?”

Serasa disambar petir rasanya. Dunianya menjadi gelap. Ini mimpi, ini tak mungkin, impossible...

Kirana tergugu, tak mampu menjawab. Di sekitarnya semua orang menatap adegan romantis mereka dengan senyuman mengembang. Teman-temannya berbisik-bisik seru. Dan di tepi matanya ia melihat orang tua Matt dan kedua adiknya, mengulum senyum, menanti dengan tak sabar jawabannya. Di hadapannya Matt menunggu, di matanya terbaca pernantian, sedang dirinya tak mampu berkata-kata. Dunia berhenti berputar...

“Kirana?”

“Uh, eh, Matt, maaf. Aku tak bisa.”

Seketika semua orang terdiam. Mungkin tak percaya. Pinangan teromantis semacam ini ditolak. Ia membaca kekecewaan mendalam di mata Matt. Ada juga tatapan tak percaya. Tatapan marah. Tatapan malu. Dan Kirana semakin merasa panik, kecewa dan juga tak percaya akan jawabannya sendiri.

“Baiklah.” Ujar Matt lugas, berdiri dari hadapannya, lalu berlalu.

Berlalu dari hidupnya, itu yang terjadi. Sejak hari wisuda dan pinangan petaka itu, Matt tak pernah lagi singgah. Tak ada email. Tak ada telepon. Matt seperti menghilang. Lenyap. Tak berbekas.

Dan Dito? Dito juga menghilang ketika mengetahui ia diterima studi PhD di Inggris dan begitu saja membatalkan rencana mereka menikah. Menurut lelaki itu ia terlalu egois dengan ambisinya studi dan lelaki itu jadi merasa tersaingi. Egoisme lelaki, tak mau calon istrinya lebih maju. Namun anehnya, ia malah merasa lega, merasa bebas.

Beberapa kali dibacanya nama Matt di beberapa jurnal ilmiah. Dan dari jurnal ilmiah itu ia tahu Matt ada di Belanda, bekerja sebagai dosen dan lalu menjadi peneliti di Cornell University. Beberapa kali Stella mengirim email, menceritakan Matt. Dan ingatannya selalu lari ke hari itu, di Campanile...

~bersambung

No comments: