5.30.2004

Part I: Kirana & Matt

~disclaimer...

Ames, Summer 2007

Kembali lagi ke Ames. Sudah berapa tahun dilewatinya pergi dari Ames? Ames kota kecil yang selalu nyaman, selalu ramah, sama seperti Bogor, kota kecilnya yang juga selalu nyaman dan ramah.

Sepanjang Lincoln Way, Kirana mengamati segala bangunan yang dilewatinya. Ah, itu Hyvee, supermarket tempat ia biasa belanja sayur-mayur dan segala pernik unik kecil yang lengkap tersedia. Dan di belakang Hyvee itu adalah apartment-nya dulu, tempat ia dua tahun tinggal. Nah, sekarang melewati Hilton Colliseum. Jadi teringat wisudanya empat tahun yang lalu, khidmat sepanjang ceremony, dan meriah sesudahnya oleh celoteh teman-temannya memberi selamat atas kelulusannya dari Iowa State University. Dan deretan Greek Houses, dulu ia sering sekali berjalan kaki di sepanjang trotoarnya, mengagumi arsitektur bangunan-bangunannya yang sungguh sedap dilahap mata. Oh, Memorial Union! Tempat ia sering nongkrong menghabiskan siang, tidur di salah satu sofa di Sun Room, makan siang di restoran Panda Express dan dancing di pesta dansa di Great Hall. Tentu saja, ia kini melihat Lake Laverne, danau kecil dengan dua angsa maskotnya, Sir Lancelot dan Elaine.

Lake Laverne? Ingatannya langsung melayang ke sesosok lelaki yang dulu sering menghabiskan waktu dengannya mengobrol di teduhnya pohon-pohon di tepi danau kecil itu. Hmm, dimana dia sekarang, pikir Kirana bertanya-tanya…

Ames, awal Summer 2004

“You know what, Kirana, ada tradisi di Lake Laverne ini.” Cerita lelaki itu di suatu sore di musim panas. Mereka baru saja pulang dari Lab Komputer, menyelesaikan sebuah proyek dan tengah berjalan ke arah restoran Little Taipei di Welch Avenue untuk santap malam. Langkah mereka tengah melewati Lake Laverne dan udara sore itu yang teduh meliputi kota Ames.

“Really, Matt? What tradition?”

“Katanya, kalau sepasang kekasih berjalan memutari Lake Laverne tiga kali tanpa saling omong sama sekali, mereka akan selama-lamanya bersama.”

“Masak sih? Cuman dengan berjalan memutari Lake Laverne?”

“Iya. Aku baca di salah satu bulletin kampus.”

“Hmm, lucu juga ya. Menarik juga ide itu. Have you tried it?”

“Me? Belum lah. Aku kan masih bujangan begini, jadi belum ada yang kuajak berjalan memutari Lake Laverne. Lagian memangnya ada cewek yang mau sama aku?” Kata Matt sambil tersenyum ke arahnya.

Sejenak Kirana tertegun memandang Matt yang kali ini sudah sibuk melanjutkan langkahnya. Diamatinya sosok Matt yang jangkung di sebelahnya. Kamu tampan kalau tersenyum seperti tadi, Matt, katanya dalam hati. Ah, lagi-lagi ia bermimpi. Ini tak mungkin.

“Kirana, you know what? Kalau misalnya aku punya pacar, akan aku ajak dia berjalan
keliling Lake Laverne, supaya kami bisa selama-lamanya bersama.”

“Dan siapa cewek yang beruntung itu, Matt?”

“Kan sudah kubilang, belum ada. Nanti kalau ada, kamu yang pertama kali aku beritahu.”

Ah, seujung jarum tiba-tiba terasa menusuk di dadanya. Beruntung sekali perempuan yang memenangkan hati lelaki ini. Matt yang baik, Matt yang ringan tangan menolongnya mengantar kemana-mana, Matt yang pintar, Matt yang tampan dengan senyum menawan.

Ames, Summer 2007

Ah, masa lalu, pikir Kirana ketika mobil yang ditumpanginya telah membelok ke arah Memorial Union. Malam ini ia akan menginap di salah satu kamar hotel di Memorial Union, dan besok pagi ia akan menghadiri konferensi tentang pengajaran bahasa Inggris. Ia merasa beruntung sekali dibiayai oleh program PhD yang sedang diambilnya di Machester, Inggris untuk menghadiri dan memberikan presentasi di konferensi internasional ini. Dan ia semakin merasa beruntung karena tahun ini konferensi tersebut diadakan di Ames, di kota tempat ia belajar untuk meraih gelar Master. Hitung-hitung ini perjalanan nostalgia. Dua minggu lalu Stella, temannya semasa kuliah Master dulu, mengirim email, mengabarkan bahwa ia akan menghadiri konferensi ini. Dan tentu saja, beberapa professor yang dulu menjadi dosennya akan hadir. Ada banyak kesempatan untuk bertukar cerita dan ilmu.

Setelah check-in dan masuk ke kamarnya di lantai tiga, Kirana meraih gagang telpon. Di meja resepsionis tadi ia mendapatkan pesan dari Stella, mengabarkan bahwa temannya itu telah lebih dulu tiba dan memintanya menelpon jika ia sampai.

“Hello, may I speak to Stella Cleros, please?”

“Hi, Kirana! How are you? Long time no see!” Suara renyah Stella menyapanya.

“I’m good. Apa kabar?”

“Great! Guess what, tahu tidak aku tadi ketemu siapa di lobby?” Suara Stella kedengaran sangat bersemangat, seperti dulu setiap kali temannya itu punya berita sensasional untuk dibagi.

“Dr. Howard?” tebaknya, menyebut nama salah satu professor favorit mereka berdua dulu.

“Ah, ngapain Dr. Howard sore-sore begini gentayangan di sini? Kalau besok sewaktu konferensi kita ketemu dia itu sudah wajar. Bukan! Ayo tebak!”

“Aku malas tebak-tebak. Lagian kenapa sih kamu semangat sekali. Memang kamu ketemu siapa? Selebritis?” timpal Kirana dengan nada menggoda. Di seberang sana Stella terbahak.

“Bukan dong! I met…… Matthew Andrews!” seru Stella dengan nada seperti mengumumkan pemenang piala Oscar.

Kirana seperti bermimpi mendengar nama itu. Matt? Matthew Andrews? Ini namanya déjà vu. Baru tadi ia memikirkan lelaki itu dan tiba-tiba saja ia mendapati bahwa Matt ada di sini, di Ames.

“Kirana? Are you still there?” suara Stella di seberang sana mengagetkannya.

“Ehm, yes, I’m still here.”

“What now? Kamu nggak senang bisa ketemu dia lagi?”

“Ehm, senang sih. Tapi aku nggak nyangka bisa ketemu dia lagi.” Apalagi sejak setelah wisuda itu, ujar Kirana dalam hati.

“Kamu apa nggak pernah kontak dia lagi setelah lulus?”

“Nope. No email, no letter. Cuma denger-denger dia pergi ke Belanda, baca beberapa tulisannya di jurnal ilmiah, lalu dia kerja di Cornell. That’s it.”

“Hmm, wajar sih, setelah kejadian itu. Tapi harusnya dia sudah nggak sakit hati lagi dong. Aku masih sering kirim-kirim email ke dia. Aku kira kamu tahu dia bakal datang di konferensi ini.”

“Nggak, aku nggak tahu sama sekali.”

“Aneh juga dia. Waktu aku bilang soal konferensi ini, dia kedengarannya nggak minat. Baru sebulan yang lalu dia tiba-tiba semangat mau datang, setelah aku bilang ke dia, kamu mau presentasi sesuatu.”

“Oh ya?”

“Iya. Dia bilang, kalau Kirana presentasi, aku mau juga datang. Katanya, dia akan mengirim email ke kamu, ngasih kabar kalau dia datang. Aku yang kasih tahu alamat emailmu.”

Hmm, jadi lelaki itu masih ingat dirinya.

“Kirana? Kamu masih di situ?”

“Masih.”

“Kamu ini ya, tiap kali bicara soal Matt selalu jadi bego tiba-tiba. Percuma dong lulus summa cum laude dari Iowa State Uni!” Hmm, jadi bego? Memang sedari dulu ia bisa tergugu kalau berada di sekitar lelaki itu.

“Dia nggak kirim email ke kamu?” Tanya Stella mengagetkannya dari pikirannya.

“Nggak tuh. Dia sama sekali nggak pernah kirim kabar.”

“Hmm, aneh juga ya. Kalian kan dulu pernah punya ‘story’.” Not really aneh juga, kalau mengingat apa yang terjadi sesudah pesta wisuda itu, pikir Kirana.

~bersambung ...

No comments: